Dia membuat semua yang ingin kukerjakan terhambat.
Dia juga membuat semua yang kurencanakan batal.
Dia juga yang membuat aku kebasahan,
padahal seharusnya aku berpenampilan maksimal.
Aku benci hujan.
Aku tak habis pikir ada orang yang suka hujan.
Itu...seminggu yang lalu.
Setiap bangun pagi, aku menantikan turunnya hujan.
Setiap ingin tidur, aku berharap hujan menemani.
Aku suka hujan.
Memberikan kesejukan setelah tersengat matahari.
Aku mengerti mengapa hujan turun.
Tahukah engkau, hujan? Aku pikir, aku jatuh cinta.
Ingatkah engkau, hujan?
Di saat aku berteduh di emper toko sore itu?
Ya, kepadanya yang menawarkan payungnya untukku.
Dia yang mengenakan kemeja cokelat muda, yang basah di bagian pundak.
Suaranya yang berat namun lembut,
senyum yang memamerkan sederet giginya yang rapi,
sepasang mata yang teduh di balik kacamata berbingkai cokelat tua,
serta wangi tubuhnya yang tersapu angin
semua masih lekat hingga sekarang.
Tepat seminggu setelah sore itu, aku masih menanti.
Payung yang kamu pinjamkan masih kupegang.
berharap tanganku sendiri yang mengembalikan.
Tak hentinya aku melirik jam di pergelangan tanganku.
Hampir malam, kenapa kamu belum juga terlihat?
Petir menyambar sedetik setelah kilat pergi.
Aku menutup telinga serta memejamkan mata.
"Petir nggak akan menyambar kamu kok. Nggak usah takut."
Aku terhenyak mendengar suara berat itu.
Lantas kutengadahkan kepala dengan jantung berdebar,
kudapati pemilik mata teduh itu
memberikan senyuman yang sama.
Kamu, yang kunanti seminggu ini.
di kamar penantian, ditemani secangkir cokelat dingin,
MIRA ANGGRAINI